JAKARTA, KOMPAS.com — Modus operandi kejahatan pajak kini telah bergeser jauh sekali dari modus operandi lima tahun lalu. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Kanwil DJP Jakarta Utara Agus Wuryantoro, Jumat (13/5/2011) di Jakarta.
"Jadi, kali ini tidak dikaitkan dengan adanya restitusi, tetapi potensi yang tidak dilaporkan, dengan mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan. Itu ada potensi yang digelapkan di sana," ungkap Agus.
Hal ini dikemukakan setelah tertangkapnya direktur dan karyawan penerbit faktur pajak tidak sah pada Kamis (12/5/2011) oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Utara (PPNS Kanwil DJP Jakarta Utara) berkerja sama dengan Polda Metro.
Dengan modus operandi seperti ini, lanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak pun tidak bisa memiliki entry point untuk melakukan suatu proses pemeriksaan, mengingat ketiadaan restitusi.
Pada kasus ini, modus operandi dari tersangka yang berinisial AGT, selaku direktur dan pemegang saham PT LBC, melakukan penandatanganan surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Masa Pertambahan Nilai PT LBC.
Adapun tersangka DM merupakan pegawai yang turut menandatangani surat setoran pajak (SSP). Alamatnya digunakan sebagai kantor dan penyimpanan dokumen PT LBC. "Kan kewenangan Pajak Pertambahan Nilai itu didasarkan pada mekanisme pajak keluaran (PK) dan pajak masukan (PM). Apabila PM lebih besar daripada PK, maka wajib pajak berhak restitusi atau pengembalian pajak," ungkapnya.
Ia pun mengungkapkan, sebelumnya modus operandi kejahatan pajak melalui restitusi dan memungkinkan adanya peran orang dalam. Untuk kasus sekarang, pelaku tidak lagi menggunakan media restitusi dalam faktur pajak bermasalah. Jadi, kemungkinan keterlibatan orang dalam pada kasus ini cukup kecil.
Selain itu, dalam kasus ini, PT LBC hanya melakukan penerbitan faktur pajak (keluaran) kepada pihak ketiga yang membutuhkan, tanpa didasari transaksi bisnis yang sebenarnya.
Faktur pajak dibukukan per bulan dan dibuatkan fisiknya atas nama PT LBC. Dengan begitu, seolah-olah ada penjualan atau pembelian barang dagangan.
Terhadap kasus ini, Kepala Bidang Pemeriksaan Penyidikan Penagihan Pajak Edward Sianipar menyebutkan, kejahatan pajak yang dilakukan tersangka termasuk perbuatan pidana pajak, yaitu menerbitkan atau mengkreditkan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 39A UU KUP.
Kejahatan yang dilakukan PT LBC ini pun menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 29 miliar.
0 komentar:
Posting Komentar